Sabtu, 26 Oktober 2013

Recommended Book: INFERNO by Dan Brown

Tengah malam, Robert Langdon terbangun di rumah sakit dan syok saat mendapati dirinya ada di Florence, Italia. Padahal ingatan terakhirnya adalah berjalan pulang setelah memberi kuliah di Harvard. Belum sempat Langdon memahami keganjilan ini, dunianya meledak dalam kekacauan. Di depan mata, dokter yang merawatnya ditembak mati. Langdon berhasil lolos berkat Sienna Brooks, seorang dokter muda yang penuh rahasia.

Dalam pelarian, Langdon menyadari bahwa dia memiliki sebuah stempel kuno berisi kode rahasia ciptaan ilmuwan fanatic yang terobsesi pada kehancuran dunia berdasarkan mahakarya terhebat yang pernah ditulis-Infero karya Dante. Ciptaan genetis ilmuwan tersebut mengancam kelangsungan umat manusia, Langdon harus berpacu dengan waktu memecahkan teka-teki yang berkelindan dalam puisi-puisi gelap Dante Alighieri. Belum lagi, dia harus menghindari sepasukan tentara berseragam hitam yang bertekad menangkapnya. (diambil dari cover belakang terbitan Bentang Pustaka)

Review:
Meramu karya seni dan referensi sejarah menjadi sebuah cerita fiksi menarik, Dan Brown, tidak diragukan lagi adalah maestronya. Hal pertama yang akan dijumpai setiap pembaca di halaman depan setiap buku (bahkan sebelum Epilog) adalah pernyataan bahwa “Semua karya seni, kesusastraan, dan referensi sejarah dalam novel ini nyata”. Ini adalah salah satu daya tarik yang membuatku tidak pernah melewatkan karya-karya Dan Brown. Membaca buku beliau seperti berjalan-berjalan melintasi Eropa atau benua lainnya dengan deskripsi detail karya seni, patung, bangunan sejarah, lukisan, lorong-lorong rahasia yang dibangun pada masa tertentu dalam sejarah ataupun literature yang tidak kalah menarik. Aku sudah membaca kelima buku Dan Brown lainnya (Angel & Demons, Da Vinci Code, Deception Point, Digital Fortress, The Lost Symbol) dan buku-buku itu seperti magnet yang membuatku sulit melepaskannya sampai lembar halaman terakhir. Sayangnya buku ini agak berbeda. Inferno memang diangkat dari sebuah mahakarya Dante Alighieri yang sangat menarik, penjelasan yang diberikan oleh Dan Brown mengenai karya beliau sungguh merupakan sebuah referensi yang akurat dalam membaca Inferno versi Dante yang konon sulit dipahami itu.

Namun, konflik yang disuguhkan dalam buku ini rasanya kurang dikelola dengan baik. Seperti buku-buku Dan Brown lainnya, sang tokoh utama akan digiring untuk memecahkan serangkaian teka-teki agar dapat memecahkan sebuah kasus dengan bantuan seorang wanita muda yang memiliki keahlian khusus atau hubungan khusus dengan inti konflik. Tidak berbeda untuk buku ini, hanya saja, buku ini tidak mengandung magnet seperti buku-buku Dan Brown lainnya. Dari sinilah aku coba menganalisa mengapa Inferno tidak menjadi magnet untukku? Pertama, porsi penggambaran sejarah bangunan dan tokoh sejarah terlalu banyak dan sangat detail. Detailnya penjelasan itu pada akhirnya tidak menyokong pengambilan keputusan terhadap langkah Langdon selanjutnya. Jadi hanya seperti informasi tambahan yang perlu dikemukakan oleh Dan Brown.

Detailnya penjelasan ini membuatku bosan dibeberapa tempat. Aku ingat ketika membaca Angel & Demons, setiap penjelasan Dan Brown akan kusimak baik-baik karena penjelasan itu adalah dasar dari langkah pergerakan sang tokoh utama. Hal ini mengantarku pada penyebab kedua. Penjelasan yang terlalu detail itu mengakibatkan konfliknya kehilangan daya tarik ditengah ketertarikan pembaca terhadap sejarah seni. 

Terlepas dari kedua hal yang menggangguku diatas, ide cerita yang diangkat oleh Dan Brown pada buku ini lagi-lagi adalah topik yang cukup unik untuk disimak. Mulai dari ditemukannya sebuah tabung biohazard yang biasanya digunakan untuk membawa virus atau biokimia lainnya, Dan Brown membawa pembaca untuk membayangkan La Mappa dell’Inferno atau Map of Hell karya Sandro Boticelli, seorang tokoh renaisans Italia. Dari sini teka-teki berlanjut, namun pembaca perlu jalan-jalan sebentar ke Palazzo Vecchio di Florence, tempat dimana lukisan kontroversial Vasari di pajang dan menjadi salah satu agen teka-teki dalam petualangan Langdon. Nah kan, membicarakan buku ini tanpa menjelaskan semua daya tarik seninya rasanya pincang, mungkin itulah yang dirasakan oleh Dan Brown sehingga porsi deskripsi seninya sangat banyak. Pembaca yang menyukai gambaran sejarah yang sangat detail tidak akan kecewa membaca buku ini. Apalagi seperti biasa, Dan Brown tidak hanya menyajikan kebudayaan sebuah Negara, kali ini ia menyuguhkan kebudayaan tiga Negara sekaligus.

Inti dari buku ini sebenarnya berbicara tentang senjata biologi yang tidak asing lagi di telinga masyarakat dunia saat ini. Namun yang menjadi poin penting disini adalah betapa cerdiknya Dan Brown mengangkat overpopulasi sebagai pemicu konflik yang memisahkan pihak protagonis dan antagonis dalam buku ini. Overpopulasi? Adakah yang pernah memikirkan apa dampaknya pada sumber daya bumi? Nah, Dan Brown akan membuka mata pembaca untuk melihat masalah ini dari kacamata para ilmuwan World Health Organization. Tiga bintang untuk buku ini.

Buku ini telah diterjemahkan oleh Bentang Pustaka dengan terjemahan mudah dinikmati. Ukuran font yang pas untuk mata, hard cover dan kualitas kertas yang oke mungkin layak menjadi alasan buku ini dijual dengan harga yang cukup mahal 149k.

PS : Akibat membaca buku ini, Inferno karya Dante Alighieri masuk menjadi salah satu buku yang harus kubaca dan Florence, Italy baru saja kutambahkan dalam list tempat di Eropa yang ingin kukunjungi. Ada yang mau join? Baca or Travel?

Diambil dari blog sahabat, Althesia Silvia :

Tidak ada komentar: